1. ORDE LAMA
Selama Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan
dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama dekade 1950-an, dan setelah
itu turun drastis menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris
mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju
pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) masing-masing hanya
sekitar 0,5% dan 0,6%.
Adapun kebijakan – kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah pada era itu diantaranya :
·
Program Banten (1950
– 1951)
Tujuan program ini adalah untuk mempersatukan kelompok
pribumi agar bisa mengembangkan segala aktivitas ekonomi di Indonesia.
·
Program
Urgensi Perekonomian (1952-1954)
Program ini disebut Soemitro’s plan, diantaranya adalah BNI
1946 harus dinasionalisir, karena saat itu masih terdapat saham VOC di dalamnya
. Memberikan kesempatan seluas-luasnya pada pengusaha pribumi untuk mengambil
alih perusahaan-perusahaan VOC. Pemerintah mengambil alih perusahaan pelayaran
yang masih dikelola oleh VOC yang sekarang telah berunah nama menjadi PELNI.
·
Program
Repelita I (1955 – 1960)
Secara Umum program ini bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, namun belum tercapai. Yaitu dengan cara Rencana
Juanda (1955) Rencana Pembangunan Lima Tahun I meliputi kurun waktu 1956-1960.
·
Program
Repelita II (1960 – 1965)
Indonesia mulai berhubungan dengan dunia luar (ekspor dan impor), mulai ada pinjaman Luar Negeri,
namun sebagian peruntukannya untuk pembangunan mercusuar (Politik Mercusuar
Soekarno). Pada tahun 1965 ada pemberontakan G30S-PKI pada bulan September dan
pada bulan November terjadi Senering atau pemotongan uang rupiah dari 1000
rupiah menjadi hanya 1 rupiah. Senering ini dilakukan karena diprediksi akan
terjadi Hyper Inflation sampai 500 %.
2. ORDE BARU
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki
pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde
Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak
Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya,
seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai,
terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan
politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan
tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi
defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi,
termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.
Adapun kebijakan – kebijakannya adalah :
·
Repelita
I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Perbedaan repelita pada era orde baru dan orde lama adalah,
pada era Orde Lama rencana pembangunan lima tahunan tersebut disusun oleh DPR
dan perancang Negara/cabinet, sedangkan pada era Orde Baru rencana pembangunan
lima tahun, disusun oleh DPR, Kabinet, dosen, masyarakat.
Pada repelita I ini menitikberatkan pada sektor
perekonomian yang didukung oleh sektor industri. Muncul istilah Trilogi
Pembangunan yang pertama adalah Stabilitas Nasional, yang kedua Pemerataan dan
yang ketiga adalah Pertumbuhan Ekonomi. Pada masa ini, barang – barang yang
diekspor masih berupa bahan mentah.
·
Repelita
II (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Trilogi pembangunan diubah urutannya menjadi , yang pertama
yaitu Pertumbuhan ekonomi , yang kedua Pemerataan dan yang ketiga Stabilitas
Nasional. Kebijakan ekonomi yang terkenal adalah adanya KNOP 15 tanggal 15
November 1978, isinya yang pertama adalah Masyarakat harus mencintai produk
dalam negeri 2, yang kedua Mendorong ekspor dan yang ketiga yaitu Memberikan
tariff spesifik bagi barang impor
·
Repelita
III (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Trilogi pembangunan ekonomi mengalami perubahan yaitu
menjadi, yang pertama Pemerataan pembangunan dan hasil2nya yang kedua
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan yang ketiga adalah Stabilitas Nasional
yang sehat dan dinamis.
Terdapat kebijakan devaluasi rupiah tanggal 30 Maret 1983
dengan menurunkan nilai rupiah menjadi 937 rupiah per dollar. Terdapat
kebijakan deregulasi perbankan oleh Soemarlin (gebrakan Soemarlin pertama)
tanggal 1 Juni 1983 karena ada bank – bank yang meminjam dana dari BI namun
khawatir akan disalahgunakan.
·
Repelita
IV (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Muncul kebijakan devaluasi tanggal 12 September 1986 karena
banyak produk – produk Indonesia yang digudangkan di luar negeri dan aliran kas
masuk berkurang (saat itu telah dipakai neraca pembayaran Balance of Payment).
Selain itu, muncul juga kebijakan deregulasi, tanggal 12 Oktober 1987 tentang
penyederhanaan aturan dan tanggal 27 Oktober 1988 tentang deregulasi dan
debirokratisasi (birokrasi dipangkas dan bank2 diberi kemudahan pendiriannya).
·
Repelita
V (1 April 1969 – 31 Maret 1974).
Muncul kebijakan uang ketat (tight money policy) untuk
mengatasi inflasi yang meningkat tajam (gebrakan Soemitro kedua)
·
Repelita
VI (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Pengalihan dana pembangunan ke Indonesia Timur, karena
sebelumnya 75% KBI 25% KTI menjadi 40% KBI dan 60% KTI. Muncul krisis mata
uang, krisis moneter sampai krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.
3.
PEMERINTAHAN TRANSISI (era Presiden
B.J. Habibie)
Krisis ekonomi mempunyai dampak yang sangat memprihatinkan terhadap
peningkatan pengangguran, baik di perkotaan maupun di pedesaan, daya beli
masyarakat menurun, pendidikan dan kesehatan merosot serta jumlah penduduk
miskin bertambah oleh karena itu muncul kebijakan
Jaring Pengaman Sosial (social safety net). Yang menyebabkan suatu prestasi
yang mengagumkan yakni nilai tukar rupiah dari 16.000 menjadi 6.000 rupiah.
4. PEREKONOMIAN REFORMASI (era Presiden
K.H. Abdurrahman Wahid)
Terjadi banyak keanehan dan tidak terdapat kebijakan
perekonomian.Pada masa Gus Dur, rating kredit Indonesia mengalami fluktuasi,
dari peringkat CCC turun menjadi DDD lalu naik kembali ke CCC. Salah satu
penyebab utamanya adalah imbas dari krisis moneter pada 1998 yang masih terbawa
hingga pemerintahannya.
5. PEMERINTAHAN TRANSISI
Keadaan sistem
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik
sebagai berikut:
· Kegoncangan
terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rop 2500
menjadi Rp 2650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak
stabil.
· Krisis
rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisi ekonomi yang kemudian
memuncuilkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
· Pada
awal pemerintahan yang dipimpin oleh habibie disebut pemerintahan reformasi.
Namun, ternyata opemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya,
sehingga kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi
karena KKN semakin menjadi, banyak kerusuhan.
6. PEMERINTAHAN
GOTONG-ROYONG
Keadaan sistem
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan gotong royong memiliki karakteristik
sebagai berikut:
· Rendahnya
pertumbuhan ekonomi yang dikarenakan masih kurang berkembangnya investasi
terutama disebabkan oleh masih tidak stabilnya kondisi sosial politik dalam
negeri.
· Dalam
hal ekspor, sejak 2000, nilai ekspor non-migas Indonesia terus merosot dari
62,1 miliar dollar AS menjadi 56,3 miliar dollar As tahun 2001, dan tahun 2002
menjadi 42,56 miliar dollar AS.
7. PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU JILID I (ERA SBY-JK)
(2004-2009)
Pada periode ini,
pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu
ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri
dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang
ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
8. PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU JILID II (ERA SBY –
BOEDIONO) (2009-2014)
Pada periode ini,
pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
1. BI rate
2. nilai tukar
3. operasi moneter
4. kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas
dan makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.